Rabu, 20 November 2013

Etika Khusus (Etika Politik)


Nama              : Domincs Baldawins Masriat
Jurusan          : Filsafat
Semester         : VIII
Etika Khusus (Etika Politik)


 
Pendahuluan
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Negara Indonesia ini, ada begitu banyak kejadian atau fenomana kurang baik yang terjadi misalnya pembuangan limbah sembarangan, aborsi, mencari keuntungan sendiri dalam berbisnis, dan korupsi dalam dunia politik. Dari beberapa fenomena atau kejadian yang terjadi di Indonesia ini, saya kemudian mengangkat mengenai kasus dalam dunia politik yakni seorang pejabat publik yang divonis 2, 5 tahun penjara karena korupsi tetapi tetap menjabat sebagai pejabat publik setelah masa tahanannya selesai. Mengenai hal ini, Pemerintah berpedoman pada argumen yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak diberhentikan. Dari sisi aturan dan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi undang-undang.[1] Adapun pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mengatakan bahwa tidak ada penyalahan Undang-Undang sebagaimana Pasal 23 ayat 4 UU 43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyatakan bahwa PNS dapat diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan hormat karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan yang ancaman hukumannya 4 tahun atau lebih. Adanya kata “boleh” mengandung arti bukanlah sebuah keharusan. Artinya meskipun PNS tersebut telah dijatuhi hukuman pidana tetapi tidak berarti bahwa harus dipecat. Pemprov Kepulauan Riau sendiri mengajukan argumentasi bahwa ancaman pidana kasus Azirwan di bawah empat tahun, sehingga meskipun telah divonis ia pun tidak mendapat sanksi pemecatan sebagai PNS.[2]
Yang menjadi permasalahan adalah hukum tentunya harus mempertimbangkan aspek etika dalam hal ini etika politik. Bahwa etika Politik tidak hanya diam dengan nilai-nilai yang dimilikinya antara lain: kebaikan, keadilan, dan kebenaran tetapi secara praktis, etika politik memberi pemahaman serta mempertanyakan tentang hal-hal praktis manusia dalam kaitan dengan etika dan politik. Dengan kata lain, dari kasus yang diangkat dapat dikatakan bahwa secara hukum undang-undang dapat membenarkan hal tersebut tetapi bagaimanakah dengan aspek etika politik? Apakah pejabat negara yang sudah pernah divonis penjara karena korupsi dan setelah keluar dari penjara tetap mengemban jabatan publik bisa dibenarkan secara Etika?

1.      Korupsi
Korupsi sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan, dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan filsuf. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption). Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng. Hingga para penguasa rezim yang termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi dipimpin oleh hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya sendiri.[3]

1.1. Korupsi Dalam Konteks Politik
Korupsi berasal dari kata latin Corruptio atau Corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan, perbuatan yang tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, dan menyimpang Dalam kaitan dengan asal-usul kata ini maka dapat dilihat bahwa korupsi adalah menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi. Dengan kata lain, korupsi dapat dipahami sebagai menyalahgunakan kekuasaan; kekuasaan yang dipercayakan (baik di sektor publik maupun swasta) untuk keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarga dan teman-temannya).[4]
Dalam kaitan dengan politik, kita dapat melihat bahwa korupsi dalam dunia politik memiliki dua pengertian, yaitu pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian sempit, korupsi politik merujuk pada tindakan yang dilakukan pejabat publik yang tidak jujur dan illegal. Contoh yang jelas adalah menerima suap. Dalam arti luas, korupsi politik meliputi tindakan pejabat publik yang meskipun tidak melanggar hukum, tetapi dalam sistem pemerintahan demokratis tindakan tersebut mencederai integritas. Contohnya sikap pejabat yang diangkat melalui pemilihan umum menerima sumbangan dana kampanye dalam jumlah besar atau dibayar 1 Miliyard dalam sekali bicara pada kampanye di depan kelompok kepentingan. Hal ini Tergantung dari negaranya atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.[5]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa korupsi politik umumnya dimengerti sebagai penggunaan kedudukan politik untuk meningkatkan kesejahteraan pribadi. Pejabat publik tidak  bekerja untuk kesejahteraan umum melainkan semata-mata menambah kekayaan pribadinya. Misalnya seorang pejabat menerima suap dari korporasi tertentu agar mau mengeluarkan kebijakan yang memudahkan. Singkatnya, korupsi politik pada dasarnya adalah penyalahgunaan wewenang yang merugikan orang lain atau masyarakat.[6]

1.2.   Hubungan Korupsi dengan Etika Politik
Dari pengertian korupsi yang telah diuraikan di atas, kita dapat melihat bahwa korupsi tidak dapat terlepas dari etika karena korupsi berkaitan dengan kegiatan imoral atau tindakan tidak bermoral dari para koruptor yang merugikan diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Dengan kata lain, melalui tindakan korupsi maka harkat dan martabat manusia serta bangsa direndahkan. Hal ini dikarenakan korupsi bukan saja menggunakan kekuasaan politik untuk keuntungan pribadi tetapi korupsi lebih dari sekadar kolusi antara pegawai negeri dan penguasa untuk mendapatkan keuntungan illegal atau keuntungan-keuntungan yang immoral.[7]
Dengan demikian, dalam berpolitik setiap orang perlu memperhatikan aspek etika karena etika sangat berpengaruh dalam proses seseorang ketika berkiprah dalam dunia politik. Politik bukan saja berkaitan dengan diri sendiri tetapi juga berkaitan dengan orang lain dan masyarakat sehingga tindakan korupsi yang dilakukan oleh seorang publik figur dalam dunia politik bukan saja merugikan dirinya sendiri tetapi juga orang lain dan masyarakat.

2.      Tanggapan Etika Politik Mengenai Kasus
Sebelum diberikan tanggapan tentang kasus pejabat negara yang sudah pernah divonis penjara karena korupsi dan setelah keluar dari penjara tetap mengemban jabatan publik, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan etika? Etika adalah nilai-nilai moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan kata lain, Etika adalah kumpulan asas atau nilai moral yang dengannya kadang disebut kode etik yang berisi tentang tanggung jawab dan kewajiban.[8]
Dalam kaitan dengan politik, Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada etika politik. Dalam bukunya, dia katakan etika politik adalah filsafat moral tentang dimensi politis kehidupan manusia. Kewajiban moral adalah kewajiban manusia sebagai manusia, dan norma moral adalah norma untuk mengukur betul-salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian berdasarkan penjelasan dari Magnis Suseno dapat dikatakan bahwa secara etika, pejabat Negara yang telah divonis dalam penjara dan setelah keluar penjara dia tetap menjabat sebagai pejabat Negara tidak bisa dibenarkan. Hal ini didasarkan pada aspek tanggung jawab dan kewajiban yang telah dilanggarnya. Secara etika, pejabat Negara itu tidak mempunyai nilai tanggung jawab dan kewajiban yang harus dilakukan secara baik.[9] Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral. Aspek tanggung jawab dan kewajiban berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat anti korupsi.[10]



2.1. Tanggapan dari aspek tanggungjawab
Dalam aspek tanggungjawab, Azirwan dikatakan keliru ketika diangkat kembali menjadi pejabat publik karena tidak mempunyai tanggung jawab terhadap tugas yang berkaitan tanggung jawab terhadap masyarakat dan tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara. Tanggung jawab terhadap masyarakat maksudnya bahwa hidupnya ada dalam masyarakat maka ia harus berkomunikasi dengan manusia lain. Sehingga dengan demikian manusia di sini merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat tersebut. Wajarlah apabila semua tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggungjawabkan dengan baik dan benar kepada masyarakat. Tanggung jawab terhadap Bangsa/Negara maksudnya bahwa setiap manusia atau setiap individu adalah warga negara dalam suatu Negara. Dalam berfikir, berbuat, bertindak, bertingkahlaku,  manusia terikat oleh norma-norma atau ukuran-ukuran yang dibuat oleh Negara. Manusia tidak bisa berbuat semaunya sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus mempertanggungjawabkan kepada Negara. Dengan kata lain, secara etika politik, orang tersebut tidak bertanggung jawab dalam tugasnya dengan perbuatan korupsi sehingga tidak perlu lagi untuk mengangkat kembali orang tersebut menjadi pejabat publik.[11]
2.2. Tanggapan dari aspek kewajiban
            Dari aspek kewajiban, dapat dilihat bahwa orang tersebut tidak menjalankan kewajiban dalam arti subjektif dan kewajiban dalam arti objektif. Kewajiban dalam arti subjektif adalah keharusan moral untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan kewajiban dalam arti obyektif adalah sesuatu yang harus dilakukan atau ditinggalkan.
Adapun kewajiban dapat dilihat sebagai tanggung jawab. Dengan kata lain, tanggung jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak, namun dapat juga tidak mengacu kepada hak. Maka tanggung jawab manusia dalam hal ini adalah tanggung jawab terhadap kewajibannya. Setiap keadaan hidup menentukan kewajiban tertentu. Status dan peranan juga  menentukan kewajiban seseorang.
Menurut Wjs. Poerwodarminto, kewajiban harus dimengerti sebagai pengabdian seseorang terhadap tugas yang diembaninya. Dengan kata lain, mengabdi adalah suatu penyerahan diri yang biasanya dilakukan dengan ikhlas serta bahkan diikuti dengan pengorbanan. Dimana pengorbanan berarti suatu pemberian untuk menyatakan kebaktian, yang dapat  berupa materi, perasaan, jiwa dan raga. Hakikat pengabdian adalah merupakan usaha untuk memikul tanggung jawab dan melaksanakan kewajiban sebagai manusia.[12]

Kesimpulan
Dari semua penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab dan kewajiban juga merupakan kedua hal yang sangat penting dalam dunia politik. Orang yang bertanggung jawab dalam tugas politik berarti dia harus berani untuk menanggung resiko atas segala sesuatu yang berkaitan dengan tanggung jawabnya. Ia harus jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap orang lain, adil, bijaksana dalam bertindak dan mandiri. Dengan kata lain, dengan melaksanakan tanggung jawabnya maka orang tersebut telah berusaha untuk memenuhi segala kewajibannya. Orang yang bertanggung jawab adalah orang yang tidak mementingkan dirinya sendiri atau orang yang mau berkorban untuk kepentingan orang lain, masyarakat dan Negara. [13]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa seseorang dapat memperoleh kebahagiaan jika dia mampu menjalankan kewajibannya dengan baik dan benar. Dan juga bahwa kebahagiaannya itu bukan saja dialami oleh dirinya sendiri tetapi dapat juga dialami oleh orang lain. Dengan kata lain, orang yang tidak bertanggung jawab terhadap tugasnya akan menimbulkan banyak masalah dengan kritikan-kritikan dari berbagai pihak. Dia akan mencari segala alasan untuk membela dirinya demi mencari kebenaran, padahal secara kenyataan, dia telah melanggar etika politik yang diatur.
Akhirnya bahwa Azirwan yang adalah seorang PNS dapat diperbolehkan untuk menjabat kembali sebagai pejabat publik karena secara aturan dan hukuman Azirwan yang adalah koruptor ini hanya mendapat vonis penjara selama 2,5 tahun atau kurang dari 4 tahun. Aturan dan hukum mengatur bahwa  PNS yang terkena kasus korupsi dan setelah mendengar masa tahanannya kurang dari 4 tahun maka PNS tersebut setelah menjani masa tahanannya, dia masih boleh diangkat sebagai pejabat publik. Hal ini memang dibenarkan tetapi secara etika, Azirwan sungguh tidak memiliki nilai etika yang berkaitan dengan etika politik karena dia tidak berperan dalam dunia politik dengan baik dan benar. Dengan kata lain, dia tidak menjalankan tanggungjawab dan kewajibannya sebagaimana mestinya. Dia telah merugikan bangsa dan Negara.
Daftar Pustaka
·         Buku
ü  Bertens, K., Etika (Jakarta: Gramedia, 1993).
ü  Minderop,  Albertine., Pragmatisme; sikap hidup dna prinsip politik luar negeri Amerika(Jakarta: Obor, 2006).Semma,  Mansyur., Negara dan Korupsi (Jakarta: Obor, 2008).
ü  Nurdjana, IGM., SH., M.Hum., Korupsi Dalam Praktik Bisnis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).
ü  Pope,  Jeremy., Strategi Memberantas Korupsi: Elemen system integritas nasional (Peneerjemah: Masri Maris) (Jakarta: Obor, 2003)
ü  Wijayanto, Ridwan, Zachrie., Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, akibat, dan prospek pemberantasan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008)

·         Internet
ü  Harry, Cendara., http://harry-cendana.manusiadantanggungjawab.com/. Diposting 19 Juni 2012.
ü  Wuriantos., http://wuriantos.com/2012/11/promosi-jabatan-bagi-koruptor.html. Diposting Jumat, 16 November 2012.





[2] Bdk. Wuriantos., http://wuriantos.com/2012/11/promosi-jabatan-bagi-koruptor.html. Diposting Jumat, 16 November 2012. Diunggah tanggal 23 Maret, 2013.


[3] Bdk. DR. Mansyur, Semma., Negara dan Korupsi (Jakarta: Obor, 2008). Hlm. 32.
[4] Bdk. Drs. IGM, Nurdjana, SH., M.Hum., Korupsi Dalam Praktik Bisnis (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005). Hlm. 7.
[5] Bdk. Ridwan, Zachrie, Wijayanto., Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab, akibat, dan prospek pemberantasan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). Hlm. 476-477.
[6] Bdk. Wijayanto, Rindwan, Zachrie., Korupsi Mengorupso Indonesia: Sebab akibat dan prospek pemberantasan……………………………………………...Hlm. 476-477.
[7] Bdk. Jeremy, Pope., Strategi Memberantas Korupsi: Elemen system integritas nasional (Peneerjemah: Masri Maris) (Jakarta: Obor, 2003). Hlm. XIV.
[8] Bdk. K. Bertens., Etika (Jakarta: Gramedia, 1993).Hlm. 6.
[9] Bdk. Albertine, Minderop., Pragmatisme; sikap hidup dna prinsip politik luar negeri Amerika(Jakarta: Obor, 2006). Hlm. 227.
[11] Bdk. Harry, Cendana., http://harry-cendana.manusiadantanggungjawab.com/. Diposting 19 Juni 2012. Diunggah 23 Maret 2013.
[12]Bdk. Harry, Cendana., http://harry-cendana.manusiadantanggungjawab.com/. Diposting 19 Juni 2012. Diunggah 23 Maret 2013.
[13]Bdk. Harry, Cendana., http://harry-cendana.manusiadantanggungjawab.com/. Diposting 19 Juni 2012. Diunggah 23 Maret 2013.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar