Nama : Domincs Baldawins Masriat
Jurusan : Filsafat
Semester : VIII
Etika Khusus (Etika Politik)
Pendahuluan
Dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara di Negara Indonesia ini, ada begitu banyak kejadian atau fenomana
kurang baik yang terjadi misalnya pembuangan limbah sembarangan, aborsi,
mencari keuntungan sendiri dalam berbisnis, dan korupsi dalam dunia politik.
Dari beberapa fenomena atau kejadian yang terjadi di Indonesia ini, saya
kemudian mengangkat mengenai kasus dalam dunia politik yakni seorang pejabat
publik yang divonis 2, 5 tahun penjara karena korupsi tetapi tetap menjabat
sebagai pejabat publik setelah masa tahanannya selesai. Mengenai hal ini,
Pemerintah berpedoman pada argumen yang terdapat dalam Undang-Undang Pokok
Kepegawaian yang menyebutkan, PNS yang dihukum kurang dari empat tahun tidak
diberhentikan. Dari sisi aturan dan hukum, kebijakan ini tidak menyalahi
undang-undang.[1]
Adapun pemerintah Provinsi Kepulauan Riau mengatakan bahwa tidak ada penyalahan
Undang-Undang sebagaimana Pasal 23 ayat 4 UU
43/1999 tentang Pokok-pokok Kepegawaian menyatakan bahwa PNS dapat
diberhentikan dengan hormat tidak atas permintaan sendiri atau tidak dengan
hormat karena dihukum penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah
mempunyai kekuatan hukum yang tetap karena melakukan tindak pidana kejahatan
yang ancaman hukumannya 4 tahun atau lebih. Adanya kata “boleh” mengandung arti
bukanlah sebuah keharusan. Artinya meskipun PNS tersebut telah dijatuhi hukuman
pidana tetapi tidak berarti bahwa harus dipecat. Pemprov Kepulauan Riau sendiri
mengajukan argumentasi bahwa ancaman pidana kasus Azirwan di bawah empat tahun,
sehingga meskipun telah divonis ia pun tidak mendapat sanksi pemecatan sebagai
PNS.[2]
Yang menjadi permasalahan
adalah hukum tentunya harus mempertimbangkan aspek etika dalam hal ini etika politik.
Bahwa etika Politik tidak hanya diam dengan nilai-nilai yang dimilikinya antara
lain: kebaikan, keadilan, dan kebenaran tetapi secara praktis, etika politik
memberi pemahaman serta mempertanyakan tentang hal-hal praktis manusia dalam
kaitan dengan etika dan politik. Dengan kata lain, dari kasus yang diangkat
dapat dikatakan bahwa secara hukum undang-undang dapat membenarkan hal tersebut
tetapi bagaimanakah dengan aspek etika politik? Apakah pejabat negara yang sudah pernah divonis penjara karena korupsi dan setelah keluar dari penjara tetap
mengemban jabatan publik bisa dibenarkan secara Etika?
1. Korupsi
Korupsi
sebagai fenomena penyimpangan dalam kehidupan sosial, budaya, kemasyarakatan,
dan kenegaraan sudah dikaji dan ditelaah secara kritis oleh banyak ilmuwan dan
filsuf. Aristoteles misalnya, yang diikuti oleh Machiavelli, sejak awal telah
merumuskan sesuatu yang disebutnya sebagai korupsi moral (moral corruption).
Korupsi moral merujuk pada berbagai bentuk konstitusi yang sudah melenceng.
Hingga para penguasa rezim yang termasuk dalam sistem demokrasi, tidak lagi
dipimpin oleh hukum, tetapi tidak lebih hanya berupaya melayani dirinya
sendiri.[3]
1.1.
Korupsi Dalam Konteks Politik
Korupsi berasal dari kata latin
Corruptio atau Corruptus yang berarti kerusakan atau kebobrokan, perbuatan yang
tidak baik, buruk, curang, dapat disuap, tidak bermoral, dan menyimpang Dalam
kaitan dengan asal-usul kata ini maka dapat dilihat bahwa korupsi adalah
menyalahgunakan kekuasaan dan kepercayaan publik untuk kepentingan pribadi.
Dengan kata lain, korupsi dapat dipahami sebagai menyalahgunakan kekuasaan;
kekuasaan yang dipercayakan (baik di sektor publik maupun swasta) untuk
keuntungan pribadi (tidak selalu berarti hanya untuk pribadi orang yang
menyalahgunakan kekuasaan, tetapi juga anggota keluarga dan teman-temannya).[4]
Dalam kaitan dengan politik, kita dapat
melihat bahwa korupsi dalam dunia politik memiliki dua pengertian, yaitu
pengertian sempit dan pengertian luas. Dalam pengertian sempit, korupsi politik
merujuk pada tindakan yang dilakukan pejabat publik yang tidak jujur dan illegal.
Contoh yang jelas adalah menerima suap. Dalam arti luas, korupsi politik
meliputi tindakan pejabat publik yang meskipun tidak melanggar hukum, tetapi
dalam sistem pemerintahan demokratis tindakan tersebut mencederai integritas.
Contohnya sikap pejabat yang diangkat melalui pemilihan umum menerima sumbangan
dana kampanye dalam jumlah besar atau dibayar 1 Miliyard dalam sekali bicara
pada kampanye di depan kelompok kepentingan. Hal ini Tergantung dari negaranya
atau wilayah hukumnya, ada perbedaan antara yang dianggap korupsi atau tidak.[5]
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa
korupsi politik umumnya dimengerti sebagai penggunaan kedudukan politik untuk
meningkatkan kesejahteraan pribadi. Pejabat publik tidak bekerja untuk kesejahteraan umum melainkan
semata-mata menambah kekayaan pribadinya. Misalnya seorang pejabat menerima
suap dari korporasi tertentu agar mau mengeluarkan kebijakan yang memudahkan.
Singkatnya, korupsi politik pada dasarnya adalah penyalahgunaan wewenang yang
merugikan orang lain atau masyarakat.[6]
1.2.
Hubungan
Korupsi dengan Etika Politik
Dari
pengertian korupsi yang telah diuraikan di atas, kita dapat melihat bahwa
korupsi tidak dapat terlepas dari etika karena korupsi berkaitan dengan
kegiatan imoral atau tindakan tidak bermoral dari para koruptor yang merugikan
diri sendiri, orang lain, dan masyarakat. Dengan kata lain, melalui tindakan
korupsi maka harkat dan martabat manusia serta bangsa direndahkan. Hal ini
dikarenakan korupsi bukan saja menggunakan kekuasaan politik untuk keuntungan
pribadi tetapi korupsi lebih dari sekadar kolusi antara pegawai negeri dan
penguasa untuk mendapatkan keuntungan illegal atau keuntungan-keuntungan yang immoral.[7]
Dengan
demikian, dalam berpolitik setiap orang perlu memperhatikan aspek etika karena
etika sangat berpengaruh dalam proses seseorang ketika berkiprah dalam dunia
politik. Politik bukan saja berkaitan dengan diri sendiri tetapi juga berkaitan
dengan orang lain dan masyarakat sehingga tindakan korupsi yang dilakukan oleh
seorang publik figur dalam dunia politik bukan saja merugikan dirinya sendiri
tetapi juga orang lain dan masyarakat.
2. Tanggapan Etika Politik Mengenai
Kasus
Sebelum diberikan tanggapan
tentang kasus pejabat negara yang
sudah pernah divonis penjara karena korupsi dan setelah keluar dari penjara tetap mengemban
jabatan publik, kita perlu mengetahui terlebih dahulu apakah yang
dimaksud dengan etika? Etika adalah nilai-nilai
moral dan norma-norma moral yang menjadi pegangan bagi seseorang atau suatu
kelompok dalam mengatur tingkah lakunya. Dengan kata lain, Etika adalah
kumpulan asas atau nilai moral yang dengannya kadang disebut kode etik yang
berisi tentang tanggung jawab dan kewajiban.[8]
Dalam kaitan dengan politik,
Rohaniwan Franz Magnis-Suseno dalam buku Etika Politik (1987) menyebutkan peran etika politik
untuk mempertanyakan tanggung jawab dan kewajiban manusia yang berpedoman pada
etika politik. Dalam bukunya, dia katakan etika politik adalah filsafat moral
tentang dimensi politis kehidupan manusia. Kewajiban moral adalah kewajiban
manusia sebagai manusia, dan norma moral adalah norma untuk mengukur
betul-salahnya tindakan manusia sebagai manusia. Dengan demikian berdasarkan
penjelasan dari Magnis Suseno dapat dikatakan bahwa secara etika, pejabat
Negara yang telah divonis dalam penjara dan setelah keluar penjara dia tetap
menjabat sebagai pejabat Negara tidak bisa dibenarkan. Hal ini didasarkan pada
aspek tanggung jawab dan kewajiban yang telah dilanggarnya. Secara etika,
pejabat Negara itu tidak mempunyai nilai tanggung jawab dan kewajiban yang
harus dilakukan secara baik.[9]
Bila batasan itu dilanggar, akan muncul hukuman moral. Aspek tanggung jawab dan
kewajiban berhadapan pula dengan sumpah dan janji yang pernah diucapkan saat
menjadi pegawai negeri (dalam UU Kepegawaian), yaitu bekerja dengan jujur dan
mengutamakan kepentingan negara. Secara normatif, tengok pula pedoman umum
dalam UU Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih dan Bebas
KKN (Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) yang semestinya menjadi pedoman para
penyelenggara negara dalam mengedepankan semangat anti korupsi.[10]
2.1.
Tanggapan dari aspek tanggungjawab
Dalam aspek tanggungjawab, Azirwan dikatakan
keliru ketika diangkat kembali menjadi pejabat publik karena tidak mempunyai
tanggung jawab terhadap tugas yang berkaitan tanggung jawab terhadap masyarakat
dan tanggung jawab terhadap bangsa dan Negara. Tanggung jawab terhadap
masyarakat maksudnya bahwa hidupnya ada dalam masyarakat maka ia harus
berkomunikasi dengan manusia lain. Sehingga dengan demikian manusia di sini
merupakan anggota masyarakat yang tentunya mempunyai tanggung jawab seperti
anggota masyarakat yang lain agar dapat melangsungkan hidupnya dalam masyarakat
tersebut. Wajarlah apabila semua tingkah laku dan perbuatannya harus dipertanggungjawabkan
dengan baik dan benar kepada masyarakat. Tanggung jawab terhadap Bangsa/Negara
maksudnya bahwa setiap manusia atau setiap individu adalah warga negara dalam suatu
Negara. Dalam berfikir, berbuat, bertindak, bertingkahlaku, manusia terikat oleh norma-norma atau
ukuran-ukuran yang dibuat oleh Negara. Manusia tidak bisa berbuat semaunya
sendiri. Bila perbuatan manusia itu salah, maka ia harus mempertanggungjawabkan
kepada Negara. Dengan kata lain, secara etika politik, orang tersebut tidak
bertanggung jawab dalam tugasnya dengan perbuatan korupsi sehingga tidak perlu
lagi untuk mengangkat kembali orang tersebut menjadi pejabat publik.[11]
2.2.
Tanggapan dari aspek kewajiban
Dari aspek kewajiban, dapat dilihat
bahwa orang tersebut tidak menjalankan kewajiban dalam arti subjektif dan
kewajiban dalam arti objektif. Kewajiban dalam arti subjektif adalah keharusan
moral untuk melakukan sesuatu atau meninggalkannya. Sedangkan kewajiban dalam
arti obyektif adalah sesuatu yang harus dilakukan atau ditinggalkan.
Adapun
kewajiban dapat dilihat sebagai tanggung jawab. Dengan kata lain, tanggung
jawab erat kaitannya dengan kewajiban. Kewajiban adalah sesuatu yang dibebankan
terhadap seseorang. Kewajiban merupakan bandingan terhadap hak, namun dapat
juga tidak mengacu kepada hak. Maka tanggung jawab manusia dalam hal ini adalah
tanggung jawab terhadap kewajibannya. Setiap keadaan hidup menentukan kewajiban
tertentu. Status dan peranan juga menentukan kewajiban seseorang.
Menurut Wjs. Poerwodarminto,
kewajiban harus dimengerti sebagai pengabdian seseorang terhadap tugas yang
diembaninya. Dengan kata lain, mengabdi adalah suatu penyerahan diri yang biasanya
dilakukan dengan ikhlas serta bahkan diikuti dengan pengorbanan. Dimana pengorbanan
berarti suatu pemberian untuk menyatakan kebaktian, yang dapat berupa materi, perasaan, jiwa dan raga.
Hakikat pengabdian adalah merupakan usaha untuk memikul tanggung jawab dan
melaksanakan kewajiban sebagai manusia.[12]
Kesimpulan
Dari
semua penjelasan di atas, dapat dikatakan bahwa tanggung jawab dan kewajiban
juga merupakan kedua hal yang sangat penting dalam dunia politik. Orang yang
bertanggung jawab dalam tugas politik berarti dia harus berani untuk menanggung
resiko atas segala sesuatu yang berkaitan dengan tanggung jawabnya. Ia harus
jujur terhadap dirinya dan jujur terhadap orang lain, adil, bijaksana dalam
bertindak dan mandiri. Dengan kata lain, dengan melaksanakan tanggung jawabnya
maka orang tersebut telah berusaha untuk memenuhi segala kewajibannya. Orang
yang bertanggung jawab adalah orang yang tidak mementingkan dirinya sendiri atau
orang yang mau berkorban untuk kepentingan orang lain, masyarakat dan Negara. [13]
Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa seseorang dapat memperoleh kebahagiaan jika dia mampu menjalankan
kewajibannya dengan baik dan benar. Dan juga bahwa kebahagiaannya itu bukan
saja dialami oleh dirinya sendiri tetapi dapat juga dialami oleh orang lain.
Dengan kata lain, orang yang tidak bertanggung jawab terhadap tugasnya akan
menimbulkan banyak masalah dengan kritikan-kritikan dari berbagai pihak. Dia
akan mencari segala alasan untuk membela dirinya demi mencari kebenaran,
padahal secara kenyataan, dia telah melanggar etika politik yang diatur.
Akhirnya bahwa Azirwan yang adalah
seorang PNS dapat diperbolehkan untuk menjabat kembali sebagai pejabat publik
karena secara aturan dan hukuman Azirwan yang adalah koruptor ini hanya
mendapat vonis penjara selama 2,5 tahun atau kurang dari 4 tahun. Aturan dan
hukum mengatur bahwa PNS yang terkena
kasus korupsi dan setelah mendengar masa tahanannya kurang dari 4 tahun maka
PNS tersebut setelah menjani masa tahanannya, dia masih boleh diangkat sebagai
pejabat publik. Hal ini memang dibenarkan tetapi secara etika, Azirwan sungguh tidak
memiliki nilai etika yang berkaitan dengan etika politik karena dia tidak
berperan dalam dunia politik dengan baik dan benar. Dengan kata lain, dia tidak
menjalankan tanggungjawab dan kewajibannya sebagaimana mestinya. Dia telah
merugikan bangsa dan Negara.
Daftar Pustaka
·
Buku
ü Bertens, K., Etika (Jakarta: Gramedia, 1993).
ü Minderop, Albertine., Pragmatisme; sikap hidup dna prinsip politik luar negeri Amerika(Jakarta:
Obor, 2006).Semma, Mansyur., Negara dan Korupsi (Jakarta: Obor,
2008).
ü Nurdjana, IGM.,
SH., M.Hum., Korupsi Dalam Praktik Bisnis
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005).
ü Pope, Jeremy., Strategi
Memberantas Korupsi: Elemen system integritas nasional (Peneerjemah: Masri
Maris) (Jakarta: Obor, 2003)
ü Wijayanto,
Ridwan, Zachrie., Korupsi Mengorupsi
Indonesia: Sebab, akibat, dan prospek pemberantasan (Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2008)
·
Internet
ü Wuriantos.,
http://wuriantos.com/2012/11/promosi-jabatan-bagi-koruptor.html.
Diposting Jumat, 16 November 2012.
[1]
Bdk. http://www.beritakaget.com/berita/3302/hukuman-sosial-bagi-para-koruptor.html.
Diposting 22 Oktober 2012. DIunggah 3 February 2013.
[2] Bdk. Wuriantos., http://wuriantos.com/2012/11/promosi-jabatan-bagi-koruptor.html. Diposting Jumat, 16 November 2012. Diunggah tanggal 23 Maret, 2013.
[3] Bdk. DR. Mansyur, Semma., Negara dan Korupsi (Jakarta: Obor,
2008). Hlm. 32.
[4] Bdk. Drs. IGM, Nurdjana, SH.,
M.Hum., Korupsi Dalam Praktik Bisnis
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2005). Hlm. 7.
[5] Bdk. Ridwan, Zachrie, Wijayanto.,
Korupsi Mengorupsi Indonesia: Sebab,
akibat, dan prospek pemberantasan (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). Hlm.
476-477.
[6] Bdk. Wijayanto, Rindwan, Zachrie.,
Korupsi Mengorupso Indonesia: Sebab akibat dan prospek pemberantasan……………………………………………...Hlm.
476-477.
[7] Bdk. Jeremy, Pope., Strategi Memberantas Korupsi: Elemen system
integritas nasional (Peneerjemah: Masri Maris) (Jakarta: Obor, 2003). Hlm.
XIV.
[8] Bdk. K. Bertens., Etika (Jakarta: Gramedia, 1993).Hlm. 6.
[9] Bdk. Albertine, Minderop., Pragmatisme; sikap hidup dna prinsip politik
luar negeri Amerika(Jakarta: Obor, 2006). Hlm. 227.
[10]Bdk.
http://www.beritakaget.com/berita/3302/hukuman-sosial-bagi-para-koruptor.html.
Diposting 22 Oktober 2012. DIunggah 3 February 2013
[11] Bdk. Harry, Cendana., http://harry-cendana.manusiadantanggungjawab.com/. Diposting 19 Juni 2012.
Diunggah 23 Maret 2013.
[12]Bdk. Harry, Cendana., http://harry-cendana.manusiadantanggungjawab.com/. Diposting 19 Juni 2012.
Diunggah 23 Maret 2013.
[13]Bdk. Harry, Cendana., http://harry-cendana.manusiadantanggungjawab.com/. Diposting 19 Juni 2012.
Diunggah 23 Maret 2013.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar